“AYAH!, ENGKAU JANGAN BISU”
Oleh: Tri Satya Hadi* (Orangtua Siswa SDIT dan SMAIT Ummul Quro Bogor)
Dalam satu dekade terakhir ini muncul istilah fatherless (ada ayah tapi tiada). Fatherless adalah suatu kondisi kurangnya keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan dan pembentukan kepribadian anaknya. Kondisi ketika seorang anak merasa tidak memiliki sosok ayah, walau ayah ada secara fisik, tetapi tidak memberikan waktu dan perhatian yang cukup kepada si anak.
Menurut penelitian, fatherless ini terjadi dengan berbagai alasan seperti ekonomi, sosial, dan budaya, ditambah masih adanya budaya patriarki khususnya di Indonesia berupa anggapan bahwa laki-laki itu bertanggung jawab pada urusan nafkah, sedangkan untuk urusan dalam keluarga dan mengurus anak adalah tanggung jawab perempuan. Mungkin ada pemakluman ketika fatherless ini terjadi karena Sang Ayah meninggal, bercerai, berselisih dengan ibu, atau pergi bertahun-tahun tanpa ada sama sekali interaksi yang tentunya sebab-sebab tadi dipastikan membuat peran ayah dalam kehidupan anaknya berkurang atau bahkan hilang. Padahal jelas secara psikologis dibutuhkan sentuhan ruhani dari kelelakian (maskulin) seorang ayah, sebagaimana mereka memerlukan sentuhan kewanitaan (feminim) seorang ibu. Ayah dapat mengajarkan tentang, keberanian, logika berpikir, dan kemandirian. Sedangkan ibu umumnya mengajarkan tentang pendewasaan emosi, empati, dan nilai-nilai kasih sayang.
Bisa jadi, ketika sentuhan nurani dari ayah berupa didikan integritas, bagaimana dalam bertanggung jawab, memegang teguh prinsip, dan tentang kepemimpinan, yang harusnya diberikan tidak terjadi, maka potensi anak jatuh dalam prilaku negatif sangatlah besar. Sebuah riset menyebutkan bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa pengasuhan ayah lebih mudah terjerumus melakukan tindakan kriminal (Demuth and Brown, 2004). Dalam penelitian lain, disebutkan bahwa anak yang tumbuh tanpa pengasuhan ayah, lebih mudah terpapar seks bebas di usia belasan tahun (Teachman, 2004).
Fenomena fatherless terbukti berbanding lurus dengan meningkatnya kenakalan remaja, kriminalitas dengan pelaku anak, pemakaian narkoba, perilaku seks bebas dan penyimpangan seksual serta lahirnya anak-anak yang mudah stres, depresi sampai bunuh diri. Jika berlanjut pada anak-anak turunannya ketika mereka menikah dan berkeluarga, mereka akan kerdil dalam berlogika, mudah marah, tidak dewasa mengelola rumah tangganya, dan dampak negatif lainnya. Muncul suami-suami yang tak mampu memimpin keluarga atau isteri-isteri yang tidak mampu mengelola emosi, sehingga rentan terjadinya perceraian.
Coba para ayah flash back, awal menikah dan baru mempunyai anak, ketika digitalisasi tidak sedahsyat saat ini dan gawai (gadget) serta teknologi komunikasi tidak secanggih sekarang, sebagian besar para ayah mungkin masih bisa meluangkan waktu untuk bencengkrama dan berkomukasi dengan keluarga khususnya anak. Mudah mengajak mereka untuk jalan bersama sambil berdialog atau berdiskusi hal-hal yang menyenangkan, dan berbagai kegiatan bersama lainnya. Kala itu pun dengan merujuk riset yang dilakukan Elly Risman S. Psi., dalam kurun 2008-2010 di 33 Provinsi, ditemukan bahwa rata-rata para ayah di Indonesia hanya bertemu 65 menit sehari dengan anak-anaknya.
Sekarang dengan kecanggihan dan kompleksitas kebutuhan hidup, menuntut jauh lebih banyak waktu dari pekerjaannya. Kita tidak akan heran melihat seorang ayah sibuk bekerja dan hanya pulang untuk tidur serta jarang bertatap muka dengan anak-anaknya. Kalaupun berkomunikasi dengan anak dengan waktu yang lebih singkat dan cenderung formalitas saja dan ini terjadi diseluruh belahan dunia. Hal ini dibuktikan dalam sebuah penelitian di Barat yang dilakukan oleh Bronfenbrenner & Team dari Amerika. Mula-mula para peneliti meminta sekelompok ayah untuk memperkirakan waktu yang diluangkan bagi anak-anak mereka yang berusia setahun setiap harinya. Para peneliti memperoleh jawaban bahwa rata-rata para ayah menghabiskan waktu 15 hingga 20 menit seharinya. Untuk menguji pernyataan mereka, peneliti menempelkan mikrofon di baju anak-anak tersebut. Pembicaraan dari para ayah dengan anaknya tersebut kemudian direkam. Hasilnya cukup mengejutkan. Ternyata waktu yang digunakan para ayah tersebut untuk berinteraksi dengan anaknya hanya sekitar 37 detik setiap harinya. (Hidayati, Kaloeti, dan Karyono, Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak).
Lantas bagaimana menjawab dampak dari fatherless ini, mulai dari mencegah hingga bagaimana memberbaikinya. Sebuah artikel, Fatherless di Kehidupan Keluarga dan Solusinya. (2023, Juni 23). Diakses pada September 13, 2023 dari: https://www.shafiq.id/berita/219/fatherless-di-kehidupan-keluarga-dan-solusinya/baca, menyebutkan beberapa cara yang bisa dilakukan oleh ayah untuk meningkatkan keterlibatannya dalam kehidupan anak sebagai bagian dari solusi fatherless:
1. Mengajarkan cara memecahkan masalah dengan logika dan kasih sayang.
2. Memberikan teladan berperilaku yang benar dan baik serta bertanggung jawab.
3. Menyediakan waktu berkualitas untuk bermain dan berinteraksi dengan anak.
4. Menunjukkan rasa sayang dan perhatian secara verbal dan nonverbal.
5. Mendengarkan dan memahami perasaan dan kebutuhan anak.
6. Memberikan dukungan dan motivasi untuk prestasi dan minat anak.
7. Menghargai dan menghormati peran ibu sebagai pasangan hidup dan mitra pengasuhan.
Kalau kita membaca berbagai literatur lainnya atau mencari informasi lewat media online, hampir semua solusi yang ditawarkan dari berbagai ilmu yang mempelajari pengasuhan anak (parenting), kajian, seminar, ataupun penelitian para ahli poin besarnya adalah komunikasi. Komunikasi disini meliputi baik verbal dan non verbal. Secara umum, komunikasi verbal adalah komunikasi yang berbentuk lisan ataupun tulisan, langsung, maupun lewat perantara seperti pesan pribadi atau melalui video call. Sedangkan komunikasi non-verbal adalah komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata, seperti menggunakan gerakan yang menunjukan kasih sayang (pelukan atau ciuman), bahasa tubuh seperti mimik wajah dan gerakan tangan, bahkan intonasi suara dan kecepatan berbicara.
Ketika membahas komunikasi verbal sebagai salah satu langkah peran seorang ayah dalam pengasuhan anak untuk menghadirkan sosok ayah dalam kehidupannya, ternyata Islam sudah menuliskan dan mengajarkan sejak 14 abad yang lalu. Ada sebuah tulisan karya Sarah binti Halil bin Dakhilallah al-Muthiri yang ditulis untuk meraih gelar Magister di Universitas Umm al-Quro, Mekkah, Fakultas Pendidikan, Konsentrasi Pendidikan Islam dan Perbandingan. Judulnya “Dialog Orangtua dengan Anak dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Aplikasi Pendidikannya”.
Menurut tulisan ilmiah tersebut, ternyata terdapat 17 dialog (berdasarkan tema) antara orangtua dengan anak dalam Al-Qur’an yang tersebar dalam sembilan surat.
Pertama, dialog antara ayah dengan anaknya sebanyak 14 kali yaitu, QS. Al Baqarah 130 – 133, QS. Al An’am: 74, QS. Hud: 42 – 43, QS. Yusuf: 4 – 5, QS. Yusuf: 11 – 14, QS. Yusuf: 16 – 18, QS. Yusuf: 63 – 67, QS. Yusuf: 81 – 87, QS. Yusuf: 94 – 98, QS. Yusuf: 99 – 100, QS. Maryam: 41 – 48, QS. Al-Qashash: 26, QS. Luqman: 13 – 19, dan QS. Ash-Shaffat: 102. Kedua, dialog antara ibu dan anaknya sebanyak 2 kali, yaitu, QS. Maryam: 23 – 26 dan QS. Al-Qashash: 11.
Ketiga, dialog antara kedua orangtua tanpa nama dengan anaknya 1 kali yaitu di QS. Al-Ahqaf: 17.
Dari 17 dialog di atas, Al-Qur’an ingin memberikan pelajaran, bahwa untuk melahirkan Khairu Ummah (Generasi Istimewa) seperti yang diinginkan oleh Allah dan Rosul-Nya, diperlukan dialog kedua orangtua kepada anak. Dan jika kita bandingkan, ternyata dialog antara ayah dengan anaknya, lebih banyak daripada dialog antara ibu dengan anaknya.
Dari kisah-kisah yang tertulis di atas pun menunjukkan bahwa Al-Qur’an menjelaskan tentang figur ayah secara sempurna. Bahkan jika dicermati secara lebih dalam kisah dan tokoh pendidikan anak yang diabadikan dalam Al Qur’an adalah Luqman Al hakim, sampai dijadikan nama surat di dalamnya, yaitu surat Luqman. Seorang salih dengan segudang hikmah (kebaikan yang banyak) dari Allah Ta ‘ala. Setiap kata dan kalimat yang diucapkannya senantisa mengandung pelajaran dan nasehat sehinggga sampai pada pendengarnya sebagai hikmah yang banyak pula. Tentunya ini menjadi pelajaran penting bagi semua umat manusia yang beriman bahwa peran ayah juga sangatlah penting dalam mendidik anak.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, "Hai Anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan-Nya adalah benar-benar kezaliman yang besar." (Q.s. Luqman: 13)
Kenapa ayah, bukan ibu? Ini bukan berarti ibu tidak boleh banyak berdialog dengan anak tetapi lebih kearah peran ayah harus lebih besar dalam komunikasi dengan anak. Ini seakan Al-Qur’an ingin menyeru kepada semua ayah, “Ayah, engkau harus rajin berdialog dengan anak, seperti dialog Luqman kepada anaknya atau Nabi Ya’kub dengan anaknya”. Janganlah jadi “ayah bisu” (sedikit bicara), ayah yang hanya ada ketika menyediakan keperluan anak, ayah yang meninggalkan kepedulian pendidikan dan keteladanan, ayah yang hanya salih sendirian, ayah yang mempercayakan anaknya pada televisi, gawai dan internet tanpa batas, ayah yang egois karena merasa lebih tua, lebih pintar, lebih kuasa, atas anak anaknya, dan banyak lagi.
Mungkin ini jawaban mengapa seorang anak gadis yang masih belia mudah jatuh dalam pelukan laki-laki yang bukan mahramnya, bahkan melabrak hal-hal yang dilarang agama. Ini juga yang membuat anak laki-laki selalu memberontak bahkan durhaka kepada ayahnya, karena mereka telah kehilangan sosok ayah yang melindungi, mengayomi, yang kuat, dan yang ia hormati. mereka tidak ada rasa takut lagi atas peringatan dan ancaman ayahnya, apalagi hukuman Allah Ta ‘ala.
Muncul pertanyaan, bagaimana jika single parent, tidak ada sosok ayah dalam keluarga, maka tugas ayah akan diambil oleh ibu. Dialog-dialog ayah dapat digantikan dengan kakek, paman atau kerabat laki-laki yang dipercaya yang bisa membimbingnya. Dialog-dialog ayah bisa juga dititipkan saat anak bersekolah menimba ilmu disekolah yang baik lewat guru atau ustaz yang faqih. Kisah Imam Syafi’i kecil yang dititipkan oleh ibunya kepada guru dan ulama di Mekah menjadi pelajaran bagi seorang ibu yang berharap anaknya berhasil dunia akhirat. Perkataan Ibunda Syafi’i kepada anaknya, “kelak kita akan bertemu di akhirat”, merupakan doa sekaligus motivasi bahwa menuntut ilmu agama ataupun ilmu dunia disertai keikhlasan semata karena Allah subhanahu wataala merupakan jalan menuju akhirat yang indah. Namun tentunya ibunda Syafi’i adalah yang ibu cerdas dan berilmu serta paham betul siapa Imam Syafi’i, beliau tidak mungkin melepas Syafi’i muda jauh keluar kota tanpa bekal keilmuan dan keimanan yang kuat ataupun belajar ilmu yang tidak jelas. Sehingga ibunya yakin Syafi’i muda tidak akan terperosok kedalam kemaksiatan dan kenistaan dalam menimba ilmu nun jauh disana.
Kembali teringat di awal tahun 2020, para orang tua dan anak-anak dipaksa berdamai dengan pandemi covid yang mengharuskan menghadirkan gawai diantara aktifitas keseharian. Ayah dan anak di suatu kondisi sama-sama bisu dengan gawai di tangan yang membuat jarak yang jauh jadi dekat sekaligus juga efeknya membuat yang dekat terasa jauh.
Ayah jangan terlena, rangkul anakmu ketika berada di usia emasnya, batasi gawainya dengan syarat tertentu ketika ia ingin menggunakannya. Bicaralah saat anak di depan mata, saat anak lagi nyaman, ajak komunikasi dengan bahasa mereka, bila perlu ikuti apa yang dimainkan dalam gawainya sambil diskusi hal-hal yang membuat mereka dapat terjaga dalam pola pikir yang islami. Ayah ibu juga harus jadi orang tua yang selalu memperbaiki diri, dapat memberikan keteladanan dan pemahaman kepada anak tentang hakikat hidup di dunia dan bekal apa yang harus dipersiapkan untuk akhirat.
Ayah harus menyempatkan waktu untuk banyak berdialog dengan anak-anak, karena itu adalah bagian penting dalam proses pembentukan karakter dan pola pikir anak. Ayah, Engkau jangan bisu, tidak boleh diam, dan menyerahkan semua komunikasi dengan anak hanya kepada ibu. Karakter dan pendidikan anak harus menjadi tanggung jawab bersama karena sosok keduanya sangat diperlukan. Keseimbangan peran dari ayah dan ibu akan memberikan andil besar bagi keberhasilan pendidikan anak-anak.
Peran penting ayah dalam keluarga ini juga tergambar dalam sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi Wasallam, "Seorang ayah adalah bagian tengah dari gerbang surga. Jadi, tetaplah di gerbang itu atau lepaskan" (H.R. Tirmidzi).
Ayah yang sosoknya ada namun tiada, harus kembali ke rumah untuk menjalankan peran sebagai pendidik dan pahlawan anak-anaknya. Jadilah ayah pembelajar, ikuti komunitas-komunitas parenting, dan kampanyekan bahaya fatherless sebagai bentuk menyeru kepada yang baik (ta`murụna bil-ma'rụf). Harapannya semoga para ayah semakin sadar pentingnya menjadi ayah yang sebenarnya untuk anak-anaknya.
Maka jika ada sosok ayah yang bertanggung jawab dan ibu yang penuh kasih sayang dengan pemahaman islam yang baik sering berdialog dengan anak anaknya sejak dini, maka akan muncul anak-anak yang berahlak mulia, taat kepada Allah dan yang mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam, serta berbakti pada kedua orangtuanya.
“Rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a'yun, waja'alna lil muttaqina imama”
"Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa". (QS. Al-Furqan: 74)
Wallahu a’lam.
Pekanbaru, 14 September 2023
Sumber: http://pijarpunbenderang.blogspot.com/2021/11/ayah-jangan-bisu.html, dengan beberapa penambahan.
*) Penulis adalah ayah dari empat anak:
1. Alya Hamidatul Sida (SMAIT UQ Lulus 2017);
2. Nabil Jundu Muhammad (SMPIT UQ Lulus 2017);
3. Hammam Adib Rabbani (SMAIT Kelas 12); dan
4. Altamis Fatih Raqilla (SDIT UQ Kelas 6).
Penulis mempunyai blog pribadi tempat menyalurkan pemikiran dan kumpulan tulisannya di http://pijarpunbenderang.blogspot.com/.